Hukum Bersentuhan Kulit laki dan wanita
Para ulama’ berbeda pendapat tentang persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Di bawah ini adalah pendapat ulama’ dalam 4 (empat) mazhab.
Pertama, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak batal secara mutlaq, baik antar mahram maupun bukan mahram, baik dengan syahwat maupun tidak dengan syahwat.
Dalil mereka, dalil (1): Pada dasarnya wudhu'nya tidak batal kecuali bila ada dalil yang shahih dan jelas yang menyebutkan pembatal wudhu’. Dalil (2): ada beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak kembali berwudhu' setelah menyentuh 'Aisyah.
Aisyah RA berkata: “Dahulu aku tidur di depan Rasulullah SAW dan kedua kakiku ada di arah qiblatnya, dan bila sujud beliau menyentuhku”. (HR Bukhari dan Muslim). Aisyah RA juga berkata: “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah SAW dari tempat tidur maka kau mencarinya lalu tanganku memegang kedua telapak kakinya”. ‘Aisyah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah mencium istrinya, kemudian shalat tanpa berwudhu’ kembali (HR Abu Dawud ).
Dalil (3): makna laa-mastumunnisa' menurut mereka adalah jima’, sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas r.a.
Kedua, Mazhab Maliki berpendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan dapat membatalkan wudhu’ jika disertai dengan syahwat, baik sengaja atau tidak sengaja. Termasuk membatalkan wudhu’ juga bersentuhan kulit dengan yang belum baligh tetapi sudah dapat menimbulkan syahwat. Termasuk juga persentuhan kulit yang dilapisi dengan kain yg tipis maupun tebal, bahkan persentuhan sesama lelaki atau sesama perempuan pun dapat membatalkan wudhu’, jika disertai dengan syahwat.
Dalil mereka adalah ayat 43 surah al-Nisa’ dan ayat 6 surah al-Maidah yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit termasuk hadats kecil yang mewajibkan wudhu’. Tetapi karena terdapat hadits-hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersentuhan dengan ‘Aisyah ketika shalat, maka mereka mengkompromikan dalil-dalil tersebut sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa sekedar bersentuhan yang tidak menimbulkan syahwat tidaklah membatalkan wudhu’
Ketiga, Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa seorang laki-laki yang menyentuh kulit isterinya atau wanita lainnya yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu', walau pun menyentuhnya tanpa diiring dengan syahwat dengan syarat tidak terdapat penghalang antar kulit tersebut. Dikecualikan dari ini adalah menyentuh rambut, kuku, gigi, atau menyentuh anak kecil yang belum menimbulkan syahwat.
Mereka menafsirkan kata laa-mastumunnisa' dalam surat al-Nisa’ ayat 43 dan Al-Maidah ayat 6 adalah bertemunya kulit dengan kulit walau pun tidak terjadi jima’. Alasannya adalah (1) Bahwa Allah SWT menyebutkan kata “janabah” di awal ayat ini kemudian mengikutinya dengan menyentuh wanita, maka ini menunjukan bahwa menyentuh wanita sebagai hadats kecil seperti buang air besar, dan itu semua bukan “janabah”, maka maksud laa-mastumunnisa' di sini adalah menyentuh kulit walau pun tidak terjadi jima’.
Alasan (2) dari sisi bahasa Arab kata laa-masa maknanya lamisa sebagaimana dalam qira’ah lainnya, dan semuanya bermakna bertemunya kulit dengan kulit. Alasan (3) Abdullah bin Umar RA berkata: “Seorang laki-laki mencium isterinya dan menyentuhnya dengan tangannya termasuk mulaa-masah (menyentuh), dan barang siapa yang mencium ietrinya atau menyentuh dengan tangannya maka wajib baginya berwudhu;”.
Keempat, Mazhab Hanbali dalam riwayat yang masyhur sependapat dengan mazhab maliki dalam hal persentuhan yang disertai dengan syahwat lah yang membatalkan wudhu’. Tetapi mereka mengecualikan persentuhan kulit yang tidak langsung (ada alas yang membatasinya), persentuhan dengan kuku, rambut, dan gigi, dan persentuhan sesama laki-laki atau sesama perempuan.
Bagaimana Sikap Kita?
Pertama, jangan saling menyalahkan satu sama lain, karena semua pendapat tersebut memiliki dalil yang menurut pengikutnya adalah yang paling kuat.
Kedua, pendapat yang lebih hati-hati adalah pendapat mazhab Syafi’i, karena jika kita berwudhu’ kembali setelah terjadinya persentuhan kulit seperti dimaksud, maka wudhu’ kita sah dalam pandangan semua mazhab.
Ketiga, dalam pandangan kami (penulis) bahwa pendapat dalam mazhab Syafi’I lebih kuat dengan beberpa alasan berikut :
- Lebih cocok dengan zhahir al-Qur’an (surah al-Nisa’ ayat 43 dan al-Maidah ayat 6);
- Tidak terdapat nash yang tegas untuk mengalihkan makna menyentuh kepada makna jima’;
- Hadits tentang Rasulullah SAW yang pernah mencium istrinya adalah hadits dha’if dan mursal yang tidak dapat dijadikan dalil.
- Hadits tentang Rasulullah SAW yang pernah menyentuh kaki ‘Aisyah ketika shalat, dan ‘Aisyah pernah menyentuh kaki beliau SAW ketika shalat, walaupun sanadnya shahih, tetapi maknanya memiliki kemungkinan lain (muhtamal), yaitu bisa jadi, ketika persentuhan itu terdapat alas yang membatasinya atau hal tersebut adalah kekhususan Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam bishshawab
Komentar
Posting Komentar