KAJIAN HUKUM.... (LPMA)

BAHTSUL MASAA’IL LEMBAGA PENGKAJIAN MASALAH AGAMA (LPMA) CIGANJUR-CIPEDAK


MEMBAYAR FIDYAH PUASA DAN SOLAT 

DASAR PEMIKIRAN

Sholat dan puasa adalah merupakan kewajiban individu muslim yang seharusnya tidaklah boleh ditinggalkan, bahkan melalaikannya saja termasuk kategori perbuatan dosa dan tercela.
Ada beberapa alasan yang dibenarkan oleh agama untuk dapat meninggalkan kewajiban sholat dan puasa berdasarkan hadits yang datang kepada kita, namun kebolehan tersebut bukanlah merupakan jalan keluar atas kemalasan dan pembangkangan terhadap Allah SWT.
Ciganjur dan sekitarnya yang dari dahulu merupakan kampung santri dan berpenghuni mayoritas muslim NU, mempunyai fenomena yang menarik yang perlu mendapatkan perhatian dan pengamatan, salah satumya adalah pembayaran fidyah puasa dan (bahkan)  fidyah sholat yang tata caranya berbeda dengan ketentuan para ulama salaf. Risalah ini diharapkan dapat memberikan keyakinan yang mendasar bagi para pelaksana pembayaran fidyah di daerah ciganjur dan sekitarnya.

PENGERTIAN FIDYAH
Didalam kamus Al Mufid, kalimat Fidyah mengandung arti “ Barang Untuk menebus” Hal ini dapat terjadi jika seseorang memiliki hutang atau jaminan yang hutang tersebut dapat lunas apabila telah ditebus atau dibayar.
Fidyah dalam kaitannya dengan ibadah adalah seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada Allah Swt seperti Solat,puasa dan Haji, jika kewajiban tersebut ditinggalkan maka orang itu dianggap berhutang dan memiliki tanggungan kepada Allah Swt. Disitulah peran fidyah berlaku yang dapat menggugurkan kewajiban orang tersebut kepada Allah Swt.

DASAR HUKUM FIDYAH 
Landasan hukum yang ditetapkan oleh para ulama tentang pembayaran fidyah  adalah Firman Allah Swt  Surat Al baqoroh ayat 184.
Artinya : Dan wajib bagi orang-orang  yang berat melaksanakannya (ibadah puasa) membayar Fidyah yaitu memberi makan seorang muslim (Al baqoroh ayat 184 )

OBYEK DAN SASARAN

Berdasarkan kepada ayat tersebut bahwa pelaksanaan fidyah dilakukan terhadap ibadah puasa yang tertinggal karena adanya faktor tertentu, ini adalah merupakan kesepakatan para ulama. Sedangkan pelaksanaan fidyah yang dikaitkan dengan ibadah Sholat hal ini masih menjadi ikhtilaf dikalangan para ulama.

FIDYAH TERHADAP IBADAH PUASA     

            Para ulama yang diantaranya Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah merka sepakat bahwa Fidyah dibebankan terhadap orang yang tidak mampu menunaikan Qodho Puasa. Hal ini berlaku terhadap orang yang tua renta yang memang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang yang sakit dan sakitnya tidak kunjung sembuh.
Istimbatul Hukmi atau pengambilan dan penetapan hukum fidyah puasa tersebut dinukil dari ayat Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat : 184 (lihat halaman sebelunya)
IBNU ABBAS  Rodhiyallahu anhuma Mengatakan :

هو السيخ الكبير والمرأة الكبيرة لايستطيعان ان يصوما, فليطعمان مكان كل يوم مسكينا                              
Yang dimaksud dalam ayat tersebut (Al baqarah 184) adalah : “ Orang yang sudah sangat tua yang tidak mampu menjalankannya (Puasa) maka hendaklah mereka memberi makan setiap harinya kepada  orang miskin “

Tidak ada perbedaan dari para ulam tentang kebolehan membayar fidyah bagi mereka yang meninggalkan kewajiban puasa dengan syarat yang telah termaktub dalam Al Qur’an dan penjelasan Hadits Rosulullah SAW.

FIDYAH SHOLAT

Dalam hal ini banyak para ulama yang berbeda pendapat tentang fidyah sholat, ada yang memperbolehkan ada yang menganjurkan bahkan ada yang mengharamkan. Marilah kita fahami beberapa keterangan dibawah ini yang bersumber dari ayat Al qur’an dan Al hadits
ûOÏ%r&ur…….                                             no4qn=¢Á9$# üÌò2Ï%Î! ÇÊÍÈ                     
Artinya : ….. Dan dirikan sholat untuk mengingatku (Thoha 14)

من نسي صلاة فليصل ا ﺫا ﺫكرها لاكفارة لها الاﺫلك                                          

Artinya : siapa saja yang lupa sholat maka hendaklah dilakukan apabila sudah ingat, tidak ada tebusan kecuali dengan sholat itu sendiri (Sohih Bukhori – jilid 1 hal 215 Maktabah Syamilah) hadits yang sama terdapat dalam kitab (Sohih Muslim – jilid 3 hal 449 Maktabah Syamilah).

Ijtihad dan Pendapat Ulama

Penjelasan tentang sabda Rosul :  "لاكفارة لها الاﺫلك"           

Imam Al Baghawi dalam kitab syarah sunan jilid 2 hal 244 maktabah syamilah menjelaskan, Al Khatabi berkata : “ sabda tersebut kemungkinan mempunyai dua pengertian yaitu :

1.      Tidak menebus sholat yang ditinggalkan selain dari pada mengqadhanya.
2.      Tidak wajib terhadap orang yang meninggalkan sholat karena lupa itu membayar denda,menggandakan sholat dan tidak juga tebusan (kafarat) yang terdiri sedekah dan seumpamanya sebagaimana yang terjadi pada orang yang meninggalkan puasa dengan tiada alsan yang syar’I dan sebagaimana yang terjadi fidyah pada orang yang melaksanakan ibadah haji karena meninggalkan wajib haji dengan menyembelih atau memberikan makanan. Dari hadits tersebut diatas dapat diketahui bahwa sholat seseorang tidak bisa diganti oleh orang lain yang berarti berbeda dengan ibadah haji, dan dapat diketahui juga bahwa sholat tidak bisa ditempel dengan harta yang berarti berbeda dengan ibadah puasa”.

Didalam kitab tersebut Imam Al Baghawi berkata :  Bahwa Ashaburra’yi berpendapat “ Jika seseorang telah meninggal dunia dan masih ada sholat yang belum diqodhonya maka bolehlah bersedekah makanan sebagai tebusan sholat”.
Imam Rafi’i dan Imam Nawawi masing-masing dalam kitab syarah Wajiz dan kitab Majmu Syarah Muhazab menukilkan :
“ Bahwa sholat yang ditinggalkan tidak gugur dengar membayar fidyah, akan tetapi telah diriwayatkan dari Imam Buwaithi bahwa Imam Syafi’i berkata pada masalah I’tikaf. “ Boleh digantikan I’tikafnya oleh walinya” dan pada riwayat yang lain dikatakan “ Dibayar Fidyah saja (sebagai ganti dari I’tikaf) “
Dan telah berkata pengarang kitab At-tahzib : “bahwa tidak jauh membawa masalah ini kepada masalah Sholat maka diberikan untuk satu waktu sholat dengan satu mud makanan”. (Kitab Syarah Wajiz jilid-6 hal 457, dan kitab Majmu Syarah Muhazab karangan Imam Nawawi jilid-6 hal 372 maktabah syamilah).        

Imam Khatib Syarbini dalam kitab Mughni Al Muhtaz, Syarah Minhaz pada jilid-1 hal.439 kitab maktabah syamilah menjelaskan :

“ Telah menukil oleh Qodhi ‘ Iyadh akan Ijma (kesepakatan ulama) bahwa tidak di Qodho sholat orang yang mati oleh orang yang hidup. Tetapi Imam Al Baghawi : Tidak jauh meloloskan apa yang dinukil oleh Imam buwaithi pada masalah sholat, maka diberikan fidyah tiap-tiap satu waktu sholat satu mud.    (kitab Mughni Al Muhtaz, Syarah Minhaz pada jilid-1 hal.439 kitab maktabah syamilah)
Syekh Zainudin Al Malibari dan Sayyid Abu Bakar Syatha dalam kitab Fathul mu’in dengan syarahnya I’anatu tholibin menjelaskan :

Faedah :  Bila seseorang telah meninggal dunia dan baginya ada sholat yang belum di Qodho, maka tiada lagi qodho dan tebusan (fidyah), namun ada satu pendapat  (Qaul)
Sebagaimana pendapat para mujtahidin bahwa “ Diqodhokan untuk orang mati oleh orang yang hidup karena ada hadits padanya yang diriwayatkan oleh imam bukhori dan yang lainnya “ Oleh karena itu maka pendapat ini telah dipilih oleh satu kumpulan dari para imam ikutan kita yang bermazhab Imam Syafi’I, dan Imam Subki telah melakukannya untuk sebagian rekan karibnya. Ibnu Burhan menukilkan dari qoul qodim, “ Bahwa jika orang mati meninggalkan warisan maka walinya wajib mengkhodakan sholat yang telah mati sama seperti hukum puasa.” Dan pada satu pendapat mengatakan “ Boleh menyedekahkan makanan sebagai ganti sholat yang ditinggalkan “ Pendapat inilah yang diakui dan diikuti oleh mayoritas ulama Syafi’iyah. Sedangkan dalam Mazhab Imam Hanafi, Abu Hanifah berkata “ Dibayarkan fidyah sholat untuk orang yang telah mati apabila ada wasiat, jika tidak ada wasiat maka tidak diqohokan. Dalam Hasyiyah Al mahalli karangan Qulyubi disebutkan “ Para guru kita ( Masyayikh ) berkata : ini adalah amalan seseorang untuk dirinya,maka boleh bagi kita mengikutinya “ Lagi pula ini adalah sebalik dari pendapat Ashah ( Artinya bukan sebalik dari pendapat Shohih ) “ Kitab Fathul Mu’in dan syarahnya I’anatuth Tholibin karangan Zainudin Al Malibari dan Sayyid Bakri Assyatha pada jilid 1 hal 33 dan jilid 2 hal 276 (Maktabah Syamilah)
            Berkaitan dengan kafarah atau fidyah sholat, Syeikh Nawawi Banten Al Jawi dalam kitab beliau Nihayatuzzain Jilid 1 Hal 192 (Maktabah Syamilah) menjelaskan :
“ Jika seseorang meninggal dunia dan atasnya masih ada kewajiban sholat (yang belum diqodho) atau I’tikaf nazar yang belum ditunaikan niscaya Sholat atau I’tikaf tersebut tidak wajib digantikan dari padanya (oleh orang yang hidup) dan tidak ada fidyah (tebusan) karena tidak datang hadits padanya, tetapi hal itu hanya disunahkan saja seperti yang dinyatakan oleh Al Syibramulassi. ”
             Pada masalah Sholat dan I’tikaf ada pendapat atau Qoul yang menghukumi seperti puasa, maka pada satu pendapat yang kebanyakan murid-murid Imam Syafi’I, membolehkan bagi wali orang yang telah mati memberi makanan untuk satu waktu sholat adalah satu mud. Yang demikian itu telah memilih Ibnu Abi Asrun, Ibnu Daqiqil ‘id Dan Imam Subki, sehingga dikatakan Imam Subki Sholat untuk sepupunya setelah sepupunya meninggal dunia, bahkan Muhibbutibri berkata dalam Syarah Tanbih “ Bahwa setiap ibadah yang dilakukan untuk orang mati baik ibadah wajib ataupun ibadah sunah akan sampai pahalanya kepada orang yang mati “. Ibnu Hajar menukil kitab Syarah Al Mukhtar bahwa menurut Mazhab Ahli Sunnah adalah boleh bagi orang hidup menjadikan pahala amalan dan sholatnya untuk orang mati dan pahalanya itu akan sampai kepada orang mati.
Berdasarkan Firman Allah Swt dan Hadits Rosulullah serta pendapat sejumlah ulama yang disebutkan diatas. Maka tidak ada tebusan bagi sholat yang ditinggalkan kecuali mengqhodho sholat itu sendiri oleh orang yang meninggalkannya. Hal ini tentu berlaku jika orang yang meninggalkan sholat masih hidup, lalu bagaimana solusinya jika orang yang meninggalkan sholat itu sudah mati..?
Para Ulama dengan berbagai dalil yang ada dan dengan berbagai cara Istinbath (pengambilan hukum) yang mereka kuasai, maka dapat ditemukan sejumlah Ijtihad,takhrij dan pendapat ulama yang membolehkan mengqodho sholat orang yang telah mati oleh orang hidup, bahkan Imam Subki sudah melakukannya. Juga terdapat sejumlah Ijtihad,Takhrij dan pendapat ulama yang membolehkan membayar fidyah untuknya.
Pendapat yang membolehkan mengqodho sholat dan membolehkan membayar fidyah adalah pendapat ulama sebagai solusi terhadap saudara-saudara kita yang kembali kehadirat Allah Swt dengan sejumlah sholat yang ditinggalkan yang belum diqodho. Pendapat ini tidak boleh disalah gunakan oleh orang yang masih hidup yang malas melakukan sholat, janganlah berkata “ Tidak perlu sibuk-sibuk sholat karena nantinya bisa diqodho oleh ahli waris atau diganti dengan fidyah “ karena mengeluarkan kata-kata tersebut adalah termasuk meringan-ringankan sholat dan hukum agama, karena orang yang meringan-ringankan sholat dan hukum agama bisa menyeret kepada kemurtadan (keluar dari agama) 

Dipertegas sekali lagi…!!!! Pendapat Ulama yang membolehkan Qodho sholat oleh wali dan membayar fidyah sholat adalah solusi terhadap orang yang telah meninggal dunia, bukan solusi untuk orang yang masih hidup agar dengan mudah meninggalkan sholat. Ulama tidak akan bertanggung jawab jika ada orang yang murtad karena mempermainkan pendapat mereka yang akhirnya meremehkan hukum Agama.

TATA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Fidyah adalah meberikan makan kepada orang miskin, karena tidak mengerjakan puasa dengan dalil Syar’I Firman Allah Swt :

                                          &ûüÅ3ó¡ÏBP$yèsÛ ×ptôÏùçmtRqà)ÏÜãúïÏ%©!$# (n?tãur Artinya : Dan wajib bagi orang-orang  yang berat melaksanakannya (ibadah puasa) membayar Fidyah yaitu memberi makan seorang muslim (Al baqoroh ayat 184 )

Orang yang masuk dalam kategori tidak mampu melaksanakan ibadah puasa adalah
  1. Orang yang hamil
  2. Orang yang sedang menyusui
  3. Orang yang sudah sangat tua
  4. Orang yang sakit yang tak kunjung sembuh

Orang-orang tersebut diatas adalah orang yang mendapatkan keringanan (Rukhshoh) untuk tidak melaksanakan ibadah puasa dengan kompensesi membayar fidyah. 
Dan wajib bagi orang-orang  yang berat melaksanakannya (ibadah puasa) membayar Fidyah yaitu memberi makan seorang muslim (Al baqoroh ayat 184)

Fidyah adalah memberikan makanan kepada fakir miskin setiap hari satu mud atau sama dengan (675 gram/0.688 liter - Kitab Al Fiqhul Islam Wa Adillatuhu karangan Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili) ketentuan ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas “ Barang siapa yang sudah sangat tua yang tidak sanggup berpuasa Ramadhan,maka ia memberi fidyah sehari sebanyak satu mud gandum “ (HR. Bukhori) Riwayat senada juga dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari sahabat Ibnu Umar.
Yang terbaik adalah langsung membayar fidyah ketika puasa pada hari itu ditinggalkan dan diberikan kepada fakir miskin.

            Ada fenomena yang menarik tentang pelaksanaan pembayaran fidyah yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyaraka khususnya didaerah Ciganjur dan sekitarnya. Yakni pembayaran fidyah dilakukan secara simbolik dengan cara mengundang orang banyak dan para mualim/Ustadz dengan MENGHELLA.
Prakteknya adalah ahli waris menyerahkan sejumlah beras yang jumlahnya tidak ditetukan kepada Mualim atau Ustadz  untuk menghelah fidyah tersebut.
Kalimat yang diucapkan ahli waris dalm menyerahkan beras tersebut adalah sebagai berikut : “ Saya atas nama ahli waris fulan bin fulan menyerahkan beras ini sebanyak (disebutkan jumlahnya) untuk dijadikan Fidyah bagi Al marhum/Al marhumah.

Biasanya ini dilaksanakan didepan para jama’ah yang hadir yang kemudian dibagi kepada dua kelompok, sebelah barat dengan timur atau sebelah utara dengan selatan sesuai dengan keadaan tempatnya, dan masing-masing kelompok tersebut memiliki juru bicara yang mewakili bagian dari kelompoknya, dan ditengahnya telah tersedia beras yang diserahkan tadi yang diletakan pada tempat yang dapat digerakan, karena dalam pelaksanaan tersebut beras akan digerakan berulangkali.

Mulailah Mu’alim/ustad atau orang yang telah diserahkan beras tadi melakukan pelaksanaan pembayaran fidyah, dengan berkata  :

“Para jamaah sekalian saya telah diserakan sejumlah beras ( disebutkan jumlahnya bahkan ada yang telah menjadikan dalam bilangan Mud )agar beras ini di jadikan sedekah fidyah atas Almarhum fulan bin fulan karena semasa hidupnya beliau telah meninggalkan puasa beberapa hari (tidak perlu di sebutkan jumlah harinya dikhawatirkan menjadi fitnah)”
Beras ini kami serahkan kepada Jamaah yang berada disebelah utara (misalkan) dan spontan beras itu digerak-gerakan sebagai symbol pemindahan hak dari muallim kepada jamaah yang berada disebelah utara.
Dengan demikian beras yang tadinya milik ahli waris yang telah diserahkan mualim telah berubah menjadi milik orang-orang atau jamaah yang disebelah utara,kemudian dengan spontan jamaah tersebut yang disebelah utara mengucapkan alhamdulillah..sebagai bukti penerimaan hak tersebut.kemudian orang yang telah disepakati menjadi perwakilan jamaah sebelah utara mengucapkan kalimat “wakil”yang memilki arti atas nama jamaah disebelah utara menyerahkan beras tersebut kepada mualim agar dilakukan hellah kembali, hal ini menunjukan bahwa secara hukum beras tersebut telah beralih hak lagi dari jamaah yang ada disebelah utara kepada mualim, selanjutnya mualim mengucapkan kalimat saya terima perwakilannya dan melanjutkan….
Hadirin sekalian saya telah menerima beras (sebutkan jumlahnya) dari jamaah yang berada disebelah utara.mereka memilki beras sebanyak (sebutkan jumlahnya) yang diniatkan sebagai fidyah qodho’ puasa almarhum/almarhumah karena beliau semasa hidupnya telah meninggalkan puasa selama beberapa hari beras ini saya serahkan kepada jamaah yang ada disebelah selatan
Seketika beras tersebut digerakkan lagi,sama seperti yang pertama tanpa diwakili seluruh jamaah yang ada disebelah selatan mengucapkan “alhamdulillah” sebagai penerimaan atas mereka,kemudian salah satu jamaah dari sebelah selatan mengucapkan “wakil” yang artinya sama dengan yang pertama tadi

Proses dan cara tersebut berulang sebanyak tiga kali baik sebelah utara maupun sebelah selatan.

Setelah proses pembayaran fidyah puasa selesai maka dilanjutkan proses pembayaran fidyah sholat,dengan cara yang sama,hanya saja kata-kata puasa diganti dengan kata sholat.

Dari proses pelaksanaan diatas dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut  :
  1. Proses pembayaran fidyah seperti diartas adalah dikenal dengan sebutan “menghellah” yang menurut bahasa arab memiliki arti dua macam.
a.       Hellah dengan arti mengupayakan (kamus almufid) yaitu berupaya menjadikan jumlah beras agar lebih banyak lagi dari yang aslinya,karena dipindah haknya beberapa kali dari phak sebelah utara dan selatan,sebab pemindahan hak didalam islam adalah : jika dilakukan dalam keadaan sama-sama ridho dan memenuhi janji (ucapan) sudah termasuk pemindahan hak,walaupu hanya perkataan saja tanpa ada perjanjian.
b.      Hellah dalam arti mendorong,yaitu scara symbolis beras itu didorong ke utara dan selatan untuk mendapatkan jumlah yang lebih dari aslinya,dengan mendorong (menggerakkannya) beras tersebut berarti sudah memindahkan hak.
  1. Sebelum pelaksanaan hellah tersebut dilakukan,haruslah jamaah yang berada di area (tempat) tersebut dbagi menajdi 2 kelompok (misalkan) utara dan selatan,hal ini dilakukan untuk dapat melakukan proses pemindahan hak seperti pada poin pertama.
  2. Setiap kelompok haruslah mengangkat dan memilih juru bicaranya,sebagai wakil dari kelompoknya yang kemudian bertindak atas nama kelompoknya mengucapkan kalimat-kalimat yang telah dipaparkan dalam proses pelaksanaan fidyah.
  3. Setelah proses hellah fidyah selesai,maka beras yang dijadikan fidyah diberikan kepada khususnya fakir miskin dan jamaah yang hadir dalam proses tersebut,terkadang dari jamaah ada yang tidak mau menerima karena masih ada orang lain yang lebih membutuhkannya.
  4. Sedangkan pemberian kepada muallim (guru/ustad) yang melebihi dari jamaah yang semestinya adalah tidak menjadi suatu keharusan,hal tersebut dilakukan sebagai penghormatan atas mereka.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian ABAJADUN

KHASIAT AYAT LIMA

Abajadun rumus kalah menang