Menjawab Pernyataan Bahwa orangtua Nabi Di Neraka
(الرد على الزعم بكفر والدي رسول الله ﷺ)
Jika anda masih meyakini bahwa kedua orang tua Nabi itu kafir dan mendapatkan adzab di akhirat, biarkanlah itu menjadi urusan Allah SWT. Janganlah anda menyakiti hati Rasulullah dengan menyebut orang tua beliau itu kafir di depan khalayak ramai.
Catatan berikut berupaya memaparkan rujukan sebagai landasan untuk menyanggah sekaligus mematahkan anggapan bahwa orang tua Nabi Muhammad SAW termasuk kaum kafir dan menjadi penghuni neraka. Anda yang setuju dengan pendapat penulis, silahkan menjadikan data dalam catatan ini sebagai pijakan. Sedangkan yang tidak setuju, silahkan. Asalkan juga bisa menjelaskan ketidaksetujuan anda dengan dasar keilmuan yang bisa dijadikan rujukan. Dengan cara seperti ini, setidaknya akan terjadi diskusi yang objektif dan terhindar dari debat kusir yang tidak jelas.
Untuk mematahkan anggapan tersebut, penulis mengangkat beberapa dasar sebagaimana berikut: Pertama, orang tua Nabi wafat sebelum kerasulan Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Dan tidaklah kami akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. 17:15).
Ulama madzhab Syafi’i sepakat bahwa seseorang yang mati sebelum bi’tsah (da’wah kerasulan), maka dia mati dalam keadaan selamat (tidak disiksa di akhirat).
Imam Syarifuddin Al-Manawi pernah ditanya seputar orang tua Nabi SAW: apakah mereka di neraka? Dia pun bersuara keras, seraya menjawab: “Mereka wafat dalam kesucian. Dan tidak ada siksa bagi yang mati sebeum bi’tsah”
Kedua, Imam Al-Hafidz bin Hajr, dalam kitab Al-Fath menjelaskan sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dan Tabrani: “Orang-orang yang mati sebelum bi’tsah mendapatkan ujian di akhirat: diperintahkan untuk masuk ke dalam api neraka. Bagi yang rela menjalankan perintah Allah ini, maka apai neraka akan terasa dingin baginya, dan dia selamat dari siksaan. Namun yang tidak mau, dia akan disiksa”. Selain orang yang mati sebelum bi’tsah, orang yang gila juga akan mendapatkan ujian yang sama saat di akhirat kelak. Demikian Imam Al-Baihaqi menjelaskan dalam kitab “Al-I’tiqad”.
Ketiga, Allah SWT juga berfirman: “Dan kelak Tuhanmu (Muhammad) pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas” (QS. 93:5). Termasuk apa-apa yang bisa membikin puas/senang hati Nabi –sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Abbas ra– adalah terbebasnya dari api neraka semua keluarga Rasul (Ahlul Bait).
Dalam riwayat lain, diterangkan: Rasulullah meminta kepada Allah agar kedua orang tuanya dibebaskan dari api neraka, dan Allah mengabulkan permintaan beliau SAW.
Karenanya tidak heran ketika Imam Abu Bakar Ibnu Arobi –salah satu ulama Malikiyah– marah saat ditanya apakah kedua orang tua Nabi masuk neraka? Beliau menjawab: “Barang siapa yang mengatakan kedua orang tua Nabi masuk neraka, maka orang tersebut terlaknat. Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan” (QS.33:57).
Ibnu Arobi mengatakan: dan tiadalah sesuatu yang lebih menyakiti hati Nabi dari pada mengatakan bahwa ayah beliau SAW masuk neraka”.
Selain selanjutnya, penulis merasa perlu memaparkan redaksi dua hadits Nabi yang dijadikan landasan mengkafirkan orang tua Nabi. Dua hadits tersebut:
عن أنس رضي الله عنه: أن رجلا قال: يا رسول الله أين أبي؟، فقال ﷺ : {في النار}. فلما ولى؛ دعاه، فقال: {إن أبي، وأباك في النار} (رواه مسلم وأبو داود)
“Dari sahabat Anas ra: ada seorang yang bertanya kepada Nabi: Dimana ayahku?, Rasul menjawab: {di Neraka}, dan ketika orang itu telah berbalik, Rasulullah memanggilnya dan bersabda: {Sesungguhnya ayahku dan dan ayahmu di neraka}” (HR. Imam Muslim dan Imam Abu Daud).
عن أبي هريرة رضي الله قال: زار النبي ﷺ قبر أمه، فبكي، وأبكى من حوله، فقال: {استأذنت ربي في أن أستغفر لها، فلم يؤذن لي، واستأذنته في أن أزور قبرها، فأذن لي} (رواه مسلم وأبو داود والنسائي)
“Dari sahabat Abi Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah pernah berziarah ke kuburan ibunda beliau. Nabi menangis, dan membuat orang-orang di sekeliling beliau juga menangis, kemudian bersabda: {Aku meminta izin beristigfar untuk mendiang ibuku, tapi Tuah tak mengizinkan. Dan aku minta izin menziarahi kuburannya, maka Tuhan mengizinkan} (HR. Imam Muslim, Abu Daud dan Nasai)
Demikian konteks hadits yang dijadikan landasan bahwa orang tua Nabi masuk neraka. Agar semakin akurat, penulis juga harus menyertakan hadits yang menjadi antitesa dua hadits di atas. Redaksi hadits sebagai berikut:
عن أم المؤمنين السيدة عائشة رضي الله عنها قالت: حج بنا رسول الله ﷺ حجة الوداع، فمر بي على عقبة الحجون، وهو باك حزين مغتم، فبكيت لبكاء رسول الله، ثم إنه طعن فنزل، فقال ﷺ: {يا حميراء استمسكي}، فاستندت إلى جنب البعير، فمكث عني طويلا مليا، ثم إنه عاد إليّ وهو فرح مبتسم، فقلت له: بأبي أنت وأمي يا رسول الله نزلت من عندي، وأنت باك حزين مغتنم، فبكيت لبكائك يا رسول الله، ثم إنك عدتَ إليّ، وأنت فرح تبتسم، فعمّ ذا يا رسول الله؟ فقال ﷺ: {ذهبت لقبري أمي آمنة، فسألت الله ربي أن يحييها، فأحياها، فآمنت بي}، أو قال ﷺ: {فآمنت}، {وردها الله عز وجل} (أخرجه القرطبي في التذكرة وأبو بكر الخطيب)
Diriwayatkan dari Ummil Mukminin, sayyidah Aisyah RA, beliau bercerita: “Kami melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah SAW. Beliau melewati saya saat di Uqbah Hujun sambil menangis menahan kesedihan mendalam. Aku pun menagis melihat keadaan Nabi. Beliau lantas memperlambat (perjalanan) kemudian turun dari unta seraya berkata kepadaku: {Wahai istriku yang kemerah-merahan, tunggu di sini}, dan aku pun berdiam di samping unta Nabi. Untuk beberapa saat lamanya, Nabi terdiam penuh arti, sebelum kemudian menghampiri aku dengan wajah penuh gembira sambil tersenyum. Aku pun bertanya: “Aku melihatmu tadi menagis sambil menahan kesedihan mendalam, tapi saat sekarang engkau nampak gembira sambil tersenyum, ada apakah gerangan wahai Rasulullah?” Beliau pun menjawab: {Saya pergi ke pemakaman ibuku Aminah untuk memohon kepada Allah agar dia dihidupkan kembali. Allah mengabulkan itu. Kemudian ibuku menjadi seorang mukmin, sebelum kemudian dia wafat kembali}
Hadits terakhir ini bisa anda lihat di kitab At-Tadzkirah karangan Imam Al-Qurtubi, dan bisa juga di kitab An-Nasyikh wal Mansyukh karangan Imam Ibnu Syahin. Dalam keterangannya seputar dua hadist yang menyatakan kekafiran orang tua Nabi dan larangan beristigfar, dengan hadits terakhir yang menjelaskan bahwa Allah menghidupkan ibu Nabi untuk beriman, Imam Al-Qurtubi mengingatkan kita agar tidak mempertentangkan hadits-hadits tersebut. Hal itu karena hadits terakhir terjadi saat haji wada’ (di akhir masa kehidupan Nabi). Sedangkan dua hadis sebelumnya terjadi di pertengahan masa kenabian Muhammad SAW. Dan karena itu, Imam Ibnu Syahin menjadikannya sebagai hadits yang me-nasyakh dua hadis sebelumnya.
Serupa dengan pendapat kedua ulama ahli hadits itu, Imam Al-‘Ajaluni memberikan keterangan dalam kitabnya Kasyfu Al-Khafa’: “Isi dua hadits tadi merupakan penjelasan pertama seputar dua orang tua Nabi, disusul kemudia dengan hadits yang menerangkan bahwa Allah menghidupkan mereka kembali agar beriman kepada Nabi SAW, sebagai mukjizat bagi beliau, serta kekhususan untuk orang tua Nabi Muhammad SAW.
Wallahu A'lam
Komentar
Posting Komentar