Dalil dsalil maulid Nabi Muhamad SAW

Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.

Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.

Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.

Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.

Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.

Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.

Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab,

“Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.

Dalil-dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .

Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)

Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.

Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?
Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.

Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “

Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.

Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut

semoga artikel ini bermanfaat didalam mendalami arti Maulid, dan semoga bsa mnjadikan tambahan ilmu yg bermanfaat.
dan semoga kita digolongkan kedalam golongan yang cinta akan Rosulullah sehingga kelak kita dikumpulkan dengan Beliau kelak disurga

Pada hakikatnya Maulid tidak lain dan tidak bukan adalah perhimpunan untuk mendengar sirah Nabi صلى الله عليه وسلم, serta memperingati kurniaan Allah Ta’ala ke atas umat ini dengan kelahiran Nabi Yang Mulia Lagi Penyantun dan Penyayang صلى الله عليه وسلم.

Namun demikian terdapat beberapa serangan liar serta bantahan yang sangat lemah, yang dipegang kuat oleh mereka yang mengingkari maulid. Malah mereka saban tahun akan membuat serangan-serangan ini demi menegakkan benang basah mereka.

Antara tuduhan mereka adalah, orang yang menyambut Maulid beriktiqad bahawa ia adalah hari raya yang ketiga. Dakwaan ini telah ditolak dan telah diterangkan sebelum ini.

Selain itu mereka juga mendakwa bahawa sambutan Maulid merupakan tambahan kepada syariat dan seolah-olah menokok tambah dalam agama. Ini karena, kata mereka, jika ia merupakan suatu perkara yang baik, tentu sekali Nabi صلى الله عليه وسلم akan membuatnya. Dakwaan ini merupakan suatu dakwaan liar yang lemah sama-sekali. Ini karena, tiada seorang pun sama ada orang awam di kalangan Muslimin, jauh sekali para ulama, yang akan beriktiqad atau menyangka sedemikian. Tambahan pula, bukanlah semua yang tidak dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم atau salaf, dan dilakukan oleh golongan selepas mereka dikira sebagai cubaan menyempurnakan agama atau menokok tambah dalam syariah. Amat jauh sekali fahaman ini. Kalaulah demikian di manakah pintu ijtihad?

Selain itu bagi menjawab bantahan mereka kononnya ulamak silam mencerca sambutan ini, kita bawakan kata-kata yang jelas dari tiga ulamak yang kehebatan mereka diakui semua.

1) Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi: Di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak?

Dan jawapannya di sisiku: Bahawasanya asal kepada perbuatan maulid, iaitu mengadakan perhimpunan orangramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya karena padanya mengagungkan kemuliaan Nabi صلى الله عليه وسلم dan menzahirkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.

2) Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”

Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”

Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”

3) Syeikhul Islam wa Imamussyurraah al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani: Berkata al-Hafiz as-Suyuthi dalam kitab yang disebutkan tadi: Syeikhul Islam Hafizul ‘Asr Abulfadhl Ibn Hajar telah ditanya tentang amal maulid, dan telah dijawab begini: “Asal amal maulid (mengikut cara yang dilakukan pada zaman ini) adalah bid’ah yang tidak dinaqalkan dari salafussoleh dari 3 kurun (yang awal), walaubagaimanapun ia mengandungi kebaikan serta sebaliknya. Maka sesiapa yang melakukan padanya kebaikan dan menjauhi yang buruk, ia merupakan bid’ah yang hasanah.

Telah jelas bagiku pengeluaran hukum ini dari asal yang tsabit iaitu apa yang tsabit dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim) bahawa Nabi صلى الله عليه وسلم ketika tiba di Madinah mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura’, lalu baginda bertanya kepada mereka (sebabnya). Mereka menjawab: Ia merupakan hari ditenggelamkan Allah Fir’aun dan diselamatkan Musa, maka kami berpuasa karena bersyukur kepada Allah. Maka diambil pengajaran darinya melakukan kesyukuran kepada Allah atas apa yang Dia kurniakan pada hari tertentu, samada cucuran nikmat atau mengangkat kesusahan.”

Seterusnya beliau berkata lagi: Dan apakah nikmat yang lebih agung dari nikmat diutuskan Nabi ini صلى الله عليه وسلم, Nabi Yang Membawa Rahmat, pada hari tersebut? Dan ini adalah asal kepada amalan tersebut. Manakala apa yang dilakukan padanya, maka seharusnya berlegar pada apa yang difahami sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala samada tilawah, memberi makan, sedekah, membacakan puji-pujian kepada Nabi, penggerak hati atau apa sahaja bentuk kebaikan dan amal untuk akhirat.”

Selengkapnya......

https://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/04/penjelasan-sayyid-muhammad-ibn-alwi-al.html?m=1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian ABAJADUN

KHASIAT AYAT LIMA

Abajadun rumus kalah menang