Nabi Muhamad Merupakan Anak dari dua bapak yang nyaris disembelih
Dalam Mustadrak-nya, Al-Hakim meriwayat sebuah hadits dari Mu’awiyyah yang mengisahkan Rasul pernah dipanggil dengan “Ibnu Adz-Dzabihaini” oleh sahabat Ibnu ‘Arabi. Beliau hanya tersenyum tanpa sedikitpun menyangkalnya. Sahabat lain pun bertanya: “Siapa Dzabihaini itu ya Rasulullah?” “Mereka berdua Ismail dan Abdullah”, Jawab Rasul. Bahkan, --dalam kaitannya dengan julukan Abdullah sebagai Adz-Dzabih-- Ibnu Burhanuddin, mengangkat sebuah hadits yang dengan bahasa telanjang Rasulullah menyebut dirinya, “Ana ibnu Dzabihaini”. Namun dia tidak mengingkari ke-gharib-an hadits ini dikarenakan dalam sanadnya ada satu periwayat yang majhul [tidak diketahui, -red]. Terlepas dari perdebatan ulama tentang status hadits pengakuan Nabi sebagai ibnu Dzabihaini, banyak hadits lain yang substansinya sejalan dengan klaim Nabi tersebut. Karena an sich-nya julukan Adz-Dzabih untuk Abdullah bin Abdul Muthalib berkaitan erat dengan kisah mimpi Abdul Muthalib yang diperintah Allah menggali sumur Zamzam. Banyak sekali hadits yang mengabarkan peristiwa ini dengan berbagai macam redaksi. Maka sejarah Abdullah bin Abdul Muthalib bergulir dari sini. Saat itu pembesar Quraisy menentang keras hasrat Abdul Muthalib menggali sumur Zamzam, di karenakan letaknya yang berada di antara dua berhala, Ash dan Nailah. Selain itu, mereka juga mengetahui Abdul Muthalib tidak mempunyai apa dan siapa, kecuali seorang anak laki-laki yaitu Al-Harits. Masih ditambah lagi dengan aura homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lain, -red) yang sedang menjangkiti kabilah-kabilah besar penguasa tanah arab. Maka lengkaplah alasan Abdul Muthalib untuk tidak berdaya. Abdul Muthalib pun beranjak pergi dalam galau yang mendalam. Lalu berdiri di hadapan Ka’bah dan bernadzar kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Sa’ad yang sanadnya marfu’ sampai Abdullah bin Abbas (ra), menuturkan: Ketika Abdul Muthalib bin Hasyim menyadari bahwa hanya sedikit kemampuan yang dia miliki untuk menggali Zamzam, dia pun bernadzar, “Jika aku dikaruniai sepuluh anak laki-laki, dan setelah mereka dewasa mampu melindungiku saat aku menggali Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka’bah sebagai bentuk korban”. Seiring perjalanan zaman, anak-anak Abdul Muthalib pun menjadi besar dan telah genap sepuluh orang. Abdul Muthalib berniat merealisasikan rencananya menggali Zamzam, sambil bersiap-siap mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaan dari nadzar yang dia ucapkan. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil, Abdullah. Ketika nama Abdullah keluar dalam undian, maka orang yang ada di sekitarnya berusaha menolak, mereka mengatakan tidak akan membiarkan Abdullah disembelih. Abdullah saat itu terkenal sebagai seorang yang bersih, tidak pernah menyakiti siapa pun. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan jazirah Arab. Muatan rohaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia seolah taman bunga di tengah gurun sahara yang tandus. Sungguh Abdullah telah menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, semua manusia datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata, “Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami sebagai tebusan baginya, daripada ia yang harus disembelih. Tidak ada yang lebih baik dari dia. Pertimbangkanlah kembali masalah ini, dan biarkan kami bertanya kepada Kahin (Peramal-dukun)”. Abdul Muthalib tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian pembesar Quraisy mendatangi seorang Kahin. “Berapa taruhan yang kalian miliki?” Tanya Kahin. “Sepuluh ekor unta.” Jawab mereka. “Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika dalam pengundian yang keluar nama Abdullah lagi maka tambahlah sepuluh ekor unta, begitu seterusnya, hingga tidak keluar lagi nama Abdullah”, Perintah Kahin kepada mereka. Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun masih selalu mengeluarkan nama Abdullah, dan Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, hingga saat jumlah unta mencapai seratus ekor maka keluarlah nama unta tersebut. Masyarakat begitu gembira hingga berlinang air mata, demi menyaksikan Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka’bah sebagai ganti Abdullah. Kedua hadits di atas [hadits pengakuan nabi sebagai ibnu Adz-Dzabihaini dan hadits kisah penyembelihan Abdullah] mengisyaratkan sebuah kongklusi, walau keduanya berbeda dalam status, namun keduanya bersepakat bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib adalah Adz-Dzabih sebagaimana Ismail. Maka tanpa melihat status gharibnya hadits “Ana Ibnu Ad-Dzabihaini”, Muhammad tetaplah ibnu Dzabihaini.
والله اعلم
Komentar
Posting Komentar