Dalil Imam berpaling kearah kanan setelah sholat.
Dua masalah ini sudah lama ada di tanah air. Tapi, setelah adanya kelompok yang mengklaim dirinya pengamal sunnah Nabi, lalu menuduh kelompok lain sebagai pelaku bid’ah, maka dua masalah ini pun kembali menjadi objek sasarannya. Akibatnya, sebagian besar jamaah menjadi bingung, dan bahkan juga ada yang berakhir dengan perseteruan dan permusuhan.
Posisi Duduk Imam
Dalam masalah ini, Imam al-Bukhari menyebut tiga hadist, yaitu hadist Samurah bin Jundub, hadist Zaid bin Khalid, dan hadist Anas bin Malik. Hadist Zaid bin Khalid menyebutkan bahwa bila selesai salat, Rasulullah menghadap kepada para makmum. Dan lafaz hadist Samurah bin Jundub pula terkesan menunjukkan hanya itu saja cara yang dilakukan Rasulullah.
Menanggapi hadist Samurah itu, penulis kitab Nail al-Authar, Imam al-Syaukani menukil komentar Imam al-Nawawi yang mengatakan, para ulama ushul berpendapat bahwa kata kana sebagaimana yang terdapat dalam hadist Samurah itu tidak menunjukkan perbuatan itu kontiniu atau berulang, tapi hanya menunjukkan sekali perbuatan saja. Artinya, hadist Samurah itu tidak bisa dijadikan dalil bahwa Rasulullah itu selamanya setiap selesai salat menghadapkan mukanya kepada para makmum.
Pada hadist Zaid bin Khalid dan Anas bin Malik pula menyebutkan, Rasulullah menghadapkan mukanya kepada para makmum itu memberikan tausiah yang berkaitan dengan Islam. Makanya, penulis kitab Fath al-Bari (2/388), Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan bahwa hikmah Rasulullah menghadapkan mukanya kepada para makmum itu ialah memberikan pengajaran dan nasihat. Perbuatan Rasulullah itu juga sebagai pemberitahuan kepada jamaah yang terlambat, bahwa salat sudah selesai.
Sebab, ada hadist dalam kitab Shahih Muslim dari al-Bara’ bin ‘Azib (no. hadits: 1533) yang menyebutkan bahwa mereka menyukai salat di sebelah kanan Rasulullah, karena nanti Rasulullah menghadapkan wajahnya ke arah mereka. Ini bermakna, setelah selesai salat, Rasulullah menghadap ke kanan, tidak sepenuhnya menghadap ke arah makmum.
Makanya, Syaikh Hasan Ali al-Saqqaf dalam bukunya Shahih Shifah Shalah al-Naby mengatakan, setelah selesai salat dan ketika hendak melakukan zikir dan berdoa, maka dianjurkan kepada imam memalingkan badannya ke sebelah kanan, lalu pipi kanannya menghadap jamaah, dan pipi kirinya menghadap kiblat.
Zikir Bersuara
Dalam kitab Shahih Imam al-Bukhari, ada hadist Ibnu Abbas (no. hadits 822) yang menyatakan bahwa mengangkat suara ketika zikir setelah selesai salat wajib merupakan amalan yang dilakukan pada masa Rasulullah. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari (2/379) mengatakan, hadist ini sebagai dalil kebolehan zikir bersuara (jahar) setelah selesai salat wajib.
Dalam kitab Shahih Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga ada disebutkan bahwa Allah bersama hamba yang menyebut-Nya. Bahkan bila seorang hamba menyebut-Nya di kumpulan orang mulia, maka Allah akan menyebutnya di kumpulan yang lebih mulia dari itu.
Menyebut Allah di kumpulan orang ramai itu pasti dengan cara bersuara (jahar). Maka hadist ini merupakan dalil kebolehan zikir secara jahar. Hadist sahih Muslim dari Mu’awiyah menyebutkan bahwa Allah menunjukkan kepada para malaikat kebaikan amalan zikir yang dilakukan para sahabat di masjid. Dan hadist sahih Muslim dari Abu Hurairah menceritakan pula bahwa sekelompok orang yang melakukan zikir itu akan dikelilingi para malaikat, diselimuti rahmat, dan mereka mendapat ketenangan.
Makanya, Syaikh Muhammad Abdul Hay al-Laknawi dalam kitabnya Majmu’ah Rasa’il al-Laknawi (3/490) mengumpulkan puluhan hadist yang menjadi dalil kebolehan zikir dengan cara jahar. Bahkan, Syaikh al-Laknawi mengatakan bahwa zikir dan baca Alquran secara jahar, dan juga zikir secara berjamaah di masjid itu adalah boleh. Namun begitu, Syaikh al-Laknawi juga mengakui bahwa hadist Ibnu Abbas itu tidak diamalkan di kalangan Mazhab Hanafi. Ulama Mazhab Maliki juga menganggap zikir bersuara itu makruh, karena tidak ada pengamalannya pada masa generasi Salaf.
Bahkan, ulama terkemuka dalam mazhab al-Syafi’i, yaitu Imam al-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim (5/84), bahwa Imam al-Syafi’i sendiri mengatakan, para sahabat Nabi mengucapkan zikir bersuara itu hanya pada waktu tertentu saja sebagai pengajaran, dan mereka tidak melaksanakannya secara kontiniu. Sebaiknya imam dan makmum itu mengucapkan zikir dengan suara pelan (sirr).
Walaupun Imam al-Sayfi’i menyarankan zikir setelah salat itu dilakukan dengan suara pelan, tapi sebagian ulama Mazhab al-Syafi’i tetap berpegang kepada hadist Ibnu Abbas itu. Di antaranya, Mufti Mesir Syaikh Ali Jumah, sebagaimana yang dia tulis dalam bukunya al-Bayan al-Qawim. Beliau juga menukil pendapat penulis kitab Muraqy al-falah yang mengatakan, bila dikhawatirkan ria dan mengganggu jamaah yang lain, maka sebaiknya zikir dengan suara pelan. Tapi jika tidak, maka zikir dengan suara jahar itu lebih utama. Lalu Syaikh Ali Jumah yang bermazhab al-Syafi’i itu menyatakan, zikir dengan suara kuat itu bukan suatu perbuatan bid’ah.
Bahkan, ulama mazhab Hanbali yang juga panutan kelompok Salafi, yaitu Syaikh al-Utsaimin dalam bukunya Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il (13/247) menegaskan bahwa zikir setelah salat wajib itu diucapkan secara jahar. Dan cara zikir bersuara (jahar) itu juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dan itu bukan perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam. ***
Syamsuddin Muir
Alumnus Muallimin Al-Washliyah
Komentar
Posting Komentar